Rabu, 07 Juli 2010

CERPEN "May, Syukurilah"


Maya menghentikan pembicaraannya. Diamatinya seorang gadis seusianya berpenampilan high class turun dari Jazz biru metalik. Kemudian Maya menatap Zaki yang berada di hadapannya. Raut muka Zaki terlihat dipenuhi permasalahan. Maya tahu, kesulitannya saat ini sama persis dengan dirinya, perbedaannya Zaki lebih bijak dalam menghadapinya. Maya makin terdampar dalam lamunannya. Dia seolah ingin me-refresh masa lalunya.
***
“Maya, tunggu!” Terdengar suara setengah berteriak. “Maya, tolong bawa bawa obat ini!” Lelaki paruh baya itu dengan begitu sulitnya mengejar Maya di tengah terik matahari, sementara anak kecil dalam gendongannya menangis semakin keras.
“Zaki, ayo kita pulang sekarang!” Maya berusaha mengajak Zaki untuk meninggalkan tempat itu secepatnya. Dengan cepat mereka naik angkot. “Siapa Laki-laki itu, May?” Zaki bertanya dengan suara keras agar suaranya tidak tenggelam dalam derungan knalpot di sekitar terminal.
“Sudahlah, itu nggak penting. Yang penting sekarang kita harus cepat meninggalkan tempat ini.” ungkap Maya. Kesabaran Zaki mulai menyusut lalu setengah mengancam dia berkata, “Kalau kamu memang nggak mau ngejelasin semua ini, aku akan turun sekarang juga.”
“Please. apa yang harus aku jelasin, Zak?” Maya membuang mukanya dari tatapan Zaki yang dipenuhi rasa ingin tahu. “May, Sekali lagi aku ingin tahu siapa lelaki tak beralas kaki tadi? Kenapa kamu berusaha menghindar dari mereka?” Maya menghela nafas panjang. Pertanyaan itulah yang paling ditakutinya. “Zak, aku akan menceritakannya tapi nggak sekarang. Aku mohon tolong kamu ngerti.”
Mendadak laki-laki tadi turun dari delman sambil mengendong anak kecil mengagetkan Maya, “May, Ayah minta tolong bawa obat ini untuk Ibumu. Penyakitnya kambuh lagi, Nak.” Tanpa menunggu lama Maya berlari menghiraukan perkataan lelaki itu. Ia merasa sangat malu karena Zaki akhirnya tahu segalanya tanpa harus ia jelaskan.
***
Pintu kontrakan Zaki diketuk keras-keras. Daun pintunya seperti hendak lepas dari engselnya. Zaki cepat membukakan pintu dan melihat sesosok gadis yang penuh keputusasaan dengan tangis sesenggukan.
“Maya?” Zaki tidak tahu apa yang telah menimpanya tetapi dia tahu pasti sesuatu yang besar telah terjadi. Lalu Zaki mempersilahkannya duduk dan mengambil segelas air putih untuk gadis itu. “May, minum dulu supaya kamu lebih tenang!” kata Zaki sambil menyodorkan segelas air putih.
Dengan gemetar Maya menerimanya, “Makasih, Zak,” ucapnya dengan suara agak serak. Ia kemudian meletakkan gelas di meja triplek setelah meminumnya dua teguk. Zaki membiarkannya sampai ia tenang dan Maya terdiam dengan pandangan penuh kehampaan. Ia tak akan bercerita apa yang telah terjadi kalau saja Zaki tidak memaksanya.
***
“Ayah nggak pernah mengerti perasaan Maya!” suara Maya begitu menggelegar di rumah kardusnya. “Kamu atau Ayah yang egois, May?” balas Ayahnya dengan suara tak kalah menggelegar.
“Ayah! Coba ayah pikir selama ini Ayah selalu buat Maya malu. Maya selalu minder bergaul dengan teman-teman di sekolah karena ayah hanya seorang kusir delman.” Teriak Maya sambil menghapus air matanya yang perlahan semakin mengalir. “Ayah bisa cari jalan lain. Jalan yang Ayah tempuh sekarang ini salah!”
“Ayah paham, May. Tapi apa yang bisa ayah lakukan? Zaman sekarang ini susah sekali cari kerja apalagi Ayah hanya lulusan SD dan tidak punya modal untuk usaha.” Mata Pak Raif terlihat berkaca-kaca. “Dengar, May! Ayah tidak merampok, Ayah bukan koruptor, dan Ayah juga bukan seorang pengemis yang bisa buat kamu lebih malu. Ayah hanya kusir delman yang mencari uang supaya bisa membeli obat Ibu yang sudah sepuluh tahun digerogoti penyakit dan menyekolahkan kamu agar masa depan kamu jauh lebih baik daripada Ayah.” Pak Raif terbatuk-batuk karena nada bicaranya terlalu tinggi.
“Sekarang coba kamu lihat Ibumu, May!” Pak Raif menunjuk-nunjuk perempuan yang terkulai lemas tak berdaya. Pantaskah Ayah pasrah saja dan membiarkan masa depan kamu hancur, hem?”
***
Zaki menatap Maya dengan penuh keibaan. Maya sesenggukan, setelah menyelesaikan ceritanya. Zaki menepuk-nepuk bahunya coba menenangkan. “Seberapa pahit kenyataan hidup yang telah ditakdirkan-Nya, kita harus tetap menjalaninya dengan penuh keikhlasan walaupun terkadang hal itu terlalu berat dijalani. Seorang kusir delman lebih baik daripada seorang penjudi dan pemabuk, May!”
Maya semakin hanyut dalam tangisannya karena menyesali semua sikapnya selama ini. “Hari hampir menjelang Magrib, May. Sekarang kamu harus pulang dan lekas meminta maaf kepada Ayahmu!” kelenggaman kian mengundang hari menuju malam. Suara Jangkrik, Katak hijau, dan binatang malam lainnya saling bersahutan. Tiba-tiba seorang lelaki yang mulutnya bau alkohol dengan langkah sempoyongan membanting pintu, lalu memaki-maki Zaki yang sedang mencoba memapahnya.
Maya terkejut begitu melihat wajah lelaki itu adalah orang yang ada difoto bersama Zaki. Lelaki itu adalah orang yang Zaki sebut Ayah saat dulu dia memberikan foto itu kepada Maya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar